Minggu, 20 Mei 2012

HUKUM ACARA PIDANA


  1. Pengertian Hukum acara pidana
Hukum acara pidana disebut juga hukum pidana formal adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana kelangsungan atau menyelenggarakan Hukum Pidana Material, sehingga memperoleh keputusan Hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan.
Penyelenggaraannya berdasarkan undang-undang no. 8 tahun 1981, tentang hukum acara pidana. Ketentuan-ketentuan hukum acara pidana itu di tulis secara sistematik dan teratur dalam sebuah kitab undang-undang hukum, berarti di kondisifikasikan dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP). KUHAP itu diundangkan berlakunya sejak tanggal 31 desember 1981 melalui lembaran Negara Republik Indonesia no. 76, tambahan lembaran Negara no. 3209. tujuan pengkodifikasian hukum secara
pidana itu terutama sebagai pengganti Reglemen Indonesia Baru (RIB), tentang acara pidana yang sangat tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat dengan sasaran memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia. Sedangkan fungsinya menyelesaikan masalah dalam mempertahankan kepentingan umum. Ketentuan-ketentuan KUHAP yang terdiri dari 286 pasal itu,  menurut pasal 2 nya menyatakan bahwa KUHAP belaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum. Maksudnya ruang lingkup berlakunya KUHAP ini mengikuti asas-asas hukum  pidana dan yang berwenang mengadili tindak pidana berdasarkan KUHAP hanya peradilan umum, kecuali di tetukan lain oleh undang-undang itu. Untuk melaksanakan KUHAP perlu di ketahui beberapa hal penting antara lain ialah:
a.      Asas  praduga tidak bersalah (presumption of innocence)
Dalam pasal 8 undang-undang no 14 tahun 1970 dinyatakan bahwa “ setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib di anggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan, yang mengatakan kesalahannya dan memperolah kekuatan hukum yang tetap”. Berdasarkan kepada asas praduga tidak bersalah ini, maka bagi seseorang sejak disangka melakukan tindak pidana tertentu sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti dari hakim pengadilan, maka ia masih tetap memiliki hak-hak individunya sebagai warga Negara.
Membicarakan tentang hak-hak tersangaka\terdakwa itu dalam kaitannya dengan penyelesaian masalah yang dihadapi, maka hak itu tidak perlu dibatasi dalam pemberian kesempatan mengadakan hubungan dengan pemberi bantuan hukum yang dapat dilakukan secara bebas. Artinya hubungan antara tersangka\ terdakwa dan pemberi bantuan hukum itu dimaksudkan untuk mempersiapkan pembelaan tentu memerlukan penjelasan melalui komunikasi. Dan selama komunikasi berlangsung tidak perlu di awasi dan di dengar oleh petugas.
Suatu penahanan dapat dilakukan berdasarkan dugaan dan bukti yang cukup bahwa seseorang telah melakukuan tindak pidana tertentu dan di khwatirkan melarikan diri yang dapat menghilangkan bukti-bukti atau mengulang tindak pidana lagi. Kalau suatu penangkapan atau suatu penahanan dilakukan tanpa memenuhi syarat seperti yang dicantumkan dalam pasal 18 ayat 1 dan pasal 21 dengan surat perintah, kecuali tertangkap basah, maka tersangka\ terdakwa, kelurga atau yang diberi kuasa untuk hal itu dapat meminta dilakukan pemeriksaan dalam “pra peradilan”.  Putusan hakim dalam pra peradilan yang menyatakan tentang “tidak sah” penangkapan\ penahanan itu dapat diminta ganti rugi.
Ada tiga kategori lamanya penahanan seseorang berdasarkan pasal 24-30 KUHAP, yaitu:
1.      Penahanan dapat dilakukan oleh polisi selama 1 hari dan selama-lamanya 20 hari. Perpanjangan oleh penuntut umum (jaksa) dapat dilakukan selama 40 hari. Dan selama 60 hari penahanan, tersangka harus sudah keluar dari tahanan penyidik.
2.      Kalau penahanan di lakukan oleh penuntut umum, selama-lamanya 20 hari dan dapat di perpanjang oleh ketua pengadilan selama 30 hari. Setelah 50 hari tersangka harus sudah keluar dari tahanan.
3.      Hakim pengadilan negeri dalam kepentingannya untuk pemeriksaan (proses persidangan) dapat melakukan penahanan paling lama 30 hari dan dapat di perpanjang oleh ketua pengadilan selama 60 hari. Setelah 90 hari lamanya penahanan, walaupun perkara itu belum terputus, maka terdakwa harus sudah keluar dari tahanan.
Dilihat dari waktu penahanan ini sejak dari penyidikan polisi, penyidik kejaksaan dan pengadilan, maka seseorang tersangka\ terdakwa dapat menjalani penahanan selama 200 hari sampai tingkat pengadilan negri. Dan kalau perkara itu naik banding, penahanan oleh pengadilan tinggi dapat dilakukan selama 30 hari dengan perpanjangan 60 hari, berarti selama-lamanya 90 hari. Sedangkan pada tingkat kasasi, penahanan dapat dilakukan oleh mahkamah agung selama 50 hari dengan perpanjangan 60 hari, berarti selama-lamanya selama 110 hari.

b.      Koneksitas
Perkara koneksitas yaitu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama antara seorang atau lebih yang hanya dapat diadili oleh peradilan umum dan seorang atau lebih yang hanya dapat diadili oleh peradilan militer. Menurut pasal 89 ayat 1 dinyatakan bahwa “ tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali jika menurut keputusan menteri pertahanan dan keamanan dengan persetujuan menteri kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan militer”. Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka kewenangan dalam mengadili perkara koneksitas ada pada peradilan umum. Tetapi kewenangan peradilan umum tidak mutlak tergantung kepada kerugian yang ditimbulkan dari adanya tindak pidana itu.

c.       Pengawasan Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pelaksanaan putusan perkara pidana dalam tingkat pertama yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa. Dalam melaksanakan putusan (eksekusi) itu ketua pengadilan melakukan tugas pengawasan dan pengamatan. Dalam pasal 277 ayat 1 KUHAP dinyatakan bahwa “ pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan”. Ketentuan pasal ini dimaksudkan supaya ada bukti yang menjamin bahwa putusan pengadilan dilaksanakan secara tepat. Tugas hakim pengawas dan pengamat itu dilakukan selama narapidana menjalani hukuman dalam lembaga permasyarakatan yang diberikan kepada narapidana sehari-harinya. Sesuai dengan fungsinya bahwa lembaga permasyarakatan bukan tempat “menyekap” narapidana, melainkan sebagai tempat tinggal sementara narapidana, maka petugas lembaga permasyarakatan mempunyai kewajiban untuk membimbing dan membina narapidana supaya kelak kalau sudah bebas tidak melakukan tindak pidana lagi dan dapat bergaul dengan anggota masyarakat lainnya dengan baik.
Kedua hukum acara yang ada, yaitu hukum acara perdata dan hukum acara pidana itu aturannya berlaku dalam menangani dan menyelesaikan perkara di peradilan umum. Sedangkan untuk orang-orang tertetu yang berkaitan dengan yang beragama islam dan atau dengan tugas Negara karena di angkat menjadi pegawai Negara di sediakan peradilan khusus kalau memerlukan keadilan atau di perlukan untuk dimintakan keadilan. Peradilan itu di namakan “peradilan khusus”. Lembaga peradilan khusus ini antara lain:
  1. Peradilan Islam
  2. Peradilan Tata Usaha Negara
  3. Peradilan Militer

2.      Tujuan Hukum Acara Pidana
Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materil. Kebenaran materil adalah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat.
Pada prinsipnya hukum pidana formal atau hukum acara pidana merupakan kumpulan peraturan hukum yang memuat beberapa ketentuan yang secara otentik mengatur tentang:
a.       Dengan cara bagaimana harus mengambil tindakan apabila ada sangkaan bahwa telah terjadi suatu perbuatan pidana.
b.      Apabila telah terbukti bahwa telah ada suatu perbuatan pidana yang dilakukan, siapa dan cara bagaimana mencari penyelidik kemudian menyidik siapa saja yang disangka, bersalah terhadapnya.
c.       Selanjutnya dengan cara bagiamana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa, menggeledah, dan menyita barang-barang bukti sebagai bahan pembuktian kesalahan tersangka.
d.      Dengan cara bagaimana pemeriksaan dalam sidang pengadilan dapat dilakukan oleh hakim terhadap terdakwa sehingga dapat dijatuhkan pidana
e.       Siapa pelaksana dan dengan cara bagaimana utusan penjatuhan pidana dilakukan.
Keterangan dalam KUHAP
1.   Tersangka, menurut pasal 1 ayat 4 KUHAP adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Tersangka belumlah dapat dikatakan sebagai bersalah atau tidak (presumption of innocence) azas praduga tak bersalah
2.   Terdakwa, menurut pasal 1 ayat 5 KUHAP adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili dipersidangan pengadilan.
3.    Terpidana adalah yang dijatuhi hukuman oleh Pengadilan pidana
Jenis Pidana yang dapat dijatuhkan kepada seorang Terpidana menurut pasal 10 KUHAP, adalah:
1.   Pidana pokok
2.   Pidana mati
3.   Pidana penjara
4.   Pidana kurungan
5.   Pidana denda
6.   Pidana Tambahan
7.   Pencabutan hak-hak tertentu
8.   Perampasan barang-barang tertentu
9.   Pengumuman keputusan

3.      Hak-hak Tersangka/Terdakwa
Hak adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang tersangka, atau terdakwa. Apabila hak tersebut dilanggar, maka hak asasi dari tersangka, atau terdakwa telah dilanggar.
Hak tersangka atau terdakwa:
  1. Mendapat pemeriksaan dengan segera (pasal 50:1)
  2. Perkaranya segera dilanjutkan ke Pengendilan (pasal 50:2)
  3. Segera diadili oleh Pengadilan (pasal 50:3)
  4. Mempersiapkan pembelaan (pasal 51 huruf a)
  5. Diberitahukan perihal apa yang didakwakan kepadanya (pasal 51 huruf b)
  6. Memberikan keterangan secara bebas (pasal 52)
 7.  Mendapat bantuan juru bahasa (pasal 52:1) bagi yang tidak mengerti bahasa  Indonesia
  8. Mendapat bantuan dalam bisu/tuli (pasal 53:2)
  9. Mendapat bantuan hukum (pasal 54,55)
10. Untuk ditunjuk pembela dalam hak terdakwa dengan ancaman hukuman mati (pasal 56)
11. Menghubungi Penasehat Hukum (pasal 57:1)
12. Menerima kunjungan dokter pribadi (pasal 58)
13. Diberitahukan kepada keluarganya (pasal 59)
14. Menghubungi dan menerima kunjungan keluarga (pasal 60,61)
15. Mengirim dan menerima surat (pasal 62)
16. Menghubungi dan menerima Rohaniawan (pasal 63)
17. Untuk diadili di sidang yang terbuka untuk umum (pasal 64), kecuali kasus susila, dan kasus terdakwa anak-anak yang masih di bawah umur
18. Mengusahakan dan mengajukan saksi/saksi ahli atau saksi A De Charge (saksi  yang menguntungkan) (pasal 65)
19. Tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66)
20. Banding (pasal 67)
21. Mendapat ganti rugi dan rehabilitasi (pasal 68)
22. Mendapat salinan dari semua surat/ berkas perkara (pasal 72)
4.   Proses terjadinya Perkara Pidana
Perkara pidana dapat terjadi karena :
1.   Tertangkap tangan artinya tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau segera sesudah beberapa saat tidak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya. Atau saat itu ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana ( pasal 1:19)
2.   Laporan/ pemberitahuan, artinya suatu pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada pihak yang berwewenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinnya peristiwa pidana.(pasal 1:21). Pihak yang berhak mengajukan laporan (pasal 103) adalah setiap orang yang : (a) mengetahui peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana (b) melihat suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana, (c.) menyaksikan suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana , (d) menjadi korban dari peristiwa tindak pidana, (e) mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan tindakan pidana terhadap : -ketentraman/keamanan umum, - jiwa atau hak milik, dan (f) setiap pegawai negeri, dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa pidana. Bentuk laporan: -lisan, - tulisan; pelapor wajib diberikan tanda penerimaan laporan (pasal 108:6)
3.   Pengaduan, artinya pemberitahuan resmi disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pihak berwenang untuk menindak, menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan (pasal 1:25). Pihak yang berhak membuat pengaduan (pasal 108) adalah setiap orang yang : (a) mengetahui peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana (b) melihat suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana, (c.) menyaksikan suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana , (d) menjadi korban dari peristiwa tindak pidana, (e) mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan tindakan pidana terhadap: -ketentraman/keamanan umum, - jiwa atau hak milik, dan (f) setiap pegawai negeri, dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa pidana. Bentuk pengaduan: -lisan, - tulisan (pasal 108:6). Tindak pidana aduan dalam KUHP: pasal: 72, 73, 278, 284, 287, 310, 311, 315, 319, 321, 332, 320.

KEPUSTAKAAN
Djamali, Abdoel.1993.Pengantar Hukum Indonesia.Jakarta: PT.Raja Grafindo Persda
Sudarsono.1991.Pengantar Tata Hukum Indonesia,Jakarta: PT.Rineka cipta.
www.google.com


1 komentar:

  1. terimakasih kembali ayo sama2 saling share ilmu dan pengetahuan.....

    BalasHapus