- Pengertian Hukum acara pidana
Hukum acara pidana disebut juga hukum pidana formal adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana kelangsungan
atau menyelenggarakan Hukum Pidana Material, sehingga memperoleh keputusan
Hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan.
Penyelenggaraannya
berdasarkan undang-undang no. 8 tahun 1981, tentang hukum acara pidana.
Ketentuan-ketentuan hukum acara pidana itu di tulis secara sistematik dan
teratur dalam sebuah kitab undang-undang hukum, berarti di kondisifikasikan
dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP). KUHAP itu diundangkan
berlakunya sejak tanggal 31 desember 1981 melalui lembaran Negara Republik
Indonesia no. 76, tambahan lembaran Negara no. 3209. tujuan pengkodifikasian
hukum secara
pidana itu terutama sebagai pengganti Reglemen Indonesia Baru
(RIB), tentang acara pidana yang sangat tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
masyarakat dengan sasaran memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia.
Sedangkan fungsinya menyelesaikan masalah dalam mempertahankan kepentingan
umum. Ketentuan-ketentuan KUHAP yang terdiri dari 286 pasal itu, menurut pasal 2 nya menyatakan bahwa KUHAP
belaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum.
Maksudnya ruang lingkup berlakunya KUHAP ini mengikuti asas-asas hukum pidana dan yang berwenang mengadili tindak
pidana berdasarkan KUHAP hanya peradilan umum, kecuali di tetukan lain oleh
undang-undang itu. Untuk melaksanakan KUHAP perlu di ketahui beberapa hal penting
antara lain ialah:
a. Asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence)
Dalam pasal 8 undang-undang no 14 tahun 1970 dinyatakan bahwa “ setiap
orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di depan
pengadilan, wajib di anggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan,
yang mengatakan kesalahannya dan memperolah kekuatan hukum yang tetap”.
Berdasarkan kepada asas praduga tidak bersalah ini, maka bagi seseorang sejak
disangka melakukan tindak pidana tertentu sampai mendapat putusan yang
mempunyai kekuatan hukum pasti dari hakim pengadilan, maka ia masih tetap
memiliki hak-hak individunya sebagai warga Negara.
Membicarakan tentang hak-hak tersangaka\terdakwa itu dalam kaitannya
dengan penyelesaian masalah yang dihadapi, maka hak itu tidak perlu dibatasi
dalam pemberian kesempatan mengadakan hubungan dengan pemberi bantuan hukum
yang dapat dilakukan secara bebas. Artinya hubungan antara tersangka\ terdakwa
dan pemberi bantuan hukum itu dimaksudkan untuk mempersiapkan pembelaan tentu
memerlukan penjelasan melalui komunikasi. Dan selama komunikasi berlangsung
tidak perlu di awasi dan di dengar oleh petugas.
Suatu penahanan dapat dilakukan berdasarkan dugaan dan
bukti yang cukup bahwa seseorang telah melakukuan tindak pidana tertentu dan di
khwatirkan melarikan diri yang dapat menghilangkan bukti-bukti atau mengulang
tindak pidana lagi. Kalau suatu penangkapan atau suatu penahanan dilakukan
tanpa memenuhi syarat seperti yang dicantumkan dalam pasal 18 ayat 1 dan pasal
21 dengan surat perintah, kecuali tertangkap basah, maka tersangka\ terdakwa,
kelurga atau yang diberi kuasa untuk hal itu dapat meminta dilakukan
pemeriksaan dalam “pra peradilan”.
Putusan hakim dalam pra peradilan yang menyatakan tentang “tidak sah”
penangkapan\ penahanan itu dapat diminta ganti rugi.
Ada tiga
kategori lamanya penahanan seseorang berdasarkan pasal 24-30 KUHAP, yaitu:
1.
Penahanan dapat dilakukan oleh polisi selama 1 hari dan
selama-lamanya 20 hari. Perpanjangan oleh penuntut umum (jaksa) dapat dilakukan
selama 40 hari. Dan selama 60 hari penahanan, tersangka harus sudah keluar dari
tahanan penyidik.
2.
Kalau penahanan di lakukan oleh penuntut umum,
selama-lamanya 20 hari dan dapat di perpanjang oleh ketua pengadilan selama 30
hari. Setelah 50 hari tersangka harus sudah keluar dari tahanan.
3.
Hakim pengadilan negeri dalam kepentingannya untuk
pemeriksaan (proses persidangan) dapat melakukan penahanan paling lama 30 hari
dan dapat di perpanjang oleh ketua pengadilan selama 60 hari. Setelah 90 hari
lamanya penahanan, walaupun perkara itu belum terputus, maka terdakwa harus
sudah keluar dari tahanan.
Dilihat dari waktu penahanan ini sejak dari penyidikan polisi, penyidik
kejaksaan dan pengadilan, maka seseorang tersangka\ terdakwa dapat menjalani
penahanan selama 200 hari sampai tingkat pengadilan negri. Dan kalau perkara
itu naik banding, penahanan oleh pengadilan tinggi dapat dilakukan selama 30
hari dengan perpanjangan 60 hari, berarti selama-lamanya 90 hari. Sedangkan
pada tingkat kasasi, penahanan dapat dilakukan oleh mahkamah agung selama 50
hari dengan perpanjangan 60 hari, berarti selama-lamanya selama 110 hari.
b. Koneksitas
Perkara koneksitas yaitu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama antara
seorang atau lebih yang hanya dapat diadili oleh peradilan umum dan seorang
atau lebih yang hanya dapat diadili oleh peradilan militer. Menurut pasal 89
ayat 1 dinyatakan bahwa “ tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka
yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer,
diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali
jika menurut keputusan menteri pertahanan dan keamanan dengan persetujuan
menteri kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan militer”. Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka kewenangan dalam
mengadili perkara koneksitas ada pada peradilan umum. Tetapi kewenangan peradilan
umum tidak mutlak tergantung kepada kerugian yang ditimbulkan dari adanya
tindak pidana itu.
c. Pengawasan Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pelaksanaan putusan perkara pidana dalam tingkat pertama yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa. Dalam melaksanakan putusan
(eksekusi) itu ketua pengadilan melakukan tugas pengawasan dan pengamatan.
Dalam pasal 277 ayat 1 KUHAP dinyatakan bahwa “ pada setiap pengadilan harus
ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan
dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan
kemerdekaan”. Ketentuan pasal ini dimaksudkan supaya ada bukti yang menjamin
bahwa putusan pengadilan dilaksanakan secara tepat. Tugas hakim pengawas dan
pengamat itu dilakukan selama narapidana menjalani hukuman dalam lembaga
permasyarakatan yang diberikan kepada narapidana sehari-harinya. Sesuai dengan
fungsinya bahwa lembaga permasyarakatan bukan tempat “menyekap” narapidana,
melainkan sebagai tempat tinggal sementara narapidana, maka petugas lembaga
permasyarakatan mempunyai kewajiban untuk membimbing dan membina narapidana
supaya kelak kalau sudah bebas tidak melakukan tindak pidana lagi dan dapat
bergaul dengan anggota masyarakat lainnya dengan baik.
Kedua hukum acara yang ada, yaitu hukum acara perdata dan hukum acara
pidana itu aturannya berlaku dalam menangani dan menyelesaikan perkara di
peradilan umum. Sedangkan untuk orang-orang tertetu yang berkaitan dengan yang
beragama islam dan atau dengan tugas Negara karena di angkat menjadi pegawai
Negara di sediakan peradilan khusus kalau memerlukan keadilan atau di perlukan
untuk dimintakan keadilan. Peradilan itu di namakan “peradilan khusus”. Lembaga
peradilan khusus ini antara lain:
- Peradilan Islam
- Peradilan Tata Usaha Negara
- Peradilan Militer
2. Tujuan Hukum Acara Pidana
Tujuan
hukum acara pidana adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materil.
Kebenaran materil adalah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara
pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat.
Pada
prinsipnya hukum pidana formal atau hukum acara pidana merupakan kumpulan
peraturan hukum yang memuat beberapa ketentuan yang secara otentik mengatur
tentang:
a.
Dengan cara bagaimana harus mengambil tindakan apabila
ada sangkaan bahwa telah terjadi suatu perbuatan pidana.
b.
Apabila telah terbukti bahwa telah ada suatu perbuatan
pidana yang dilakukan, siapa dan cara bagaimana mencari penyelidik kemudian
menyidik siapa saja yang disangka, bersalah terhadapnya.
c.
Selanjutnya dengan cara bagiamana mengumpulkan
barang-barang bukti, memeriksa, menggeledah, dan menyita barang-barang bukti
sebagai bahan pembuktian kesalahan tersangka.
d.
Dengan cara bagaimana pemeriksaan dalam sidang
pengadilan dapat dilakukan oleh hakim terhadap terdakwa sehingga dapat
dijatuhkan pidana
e.
Siapa pelaksana dan dengan cara bagaimana utusan
penjatuhan pidana dilakukan.
Keterangan dalam
KUHAP
1. Tersangka, menurut
pasal 1 ayat 4 KUHAP adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Tersangka belumlah dapat dikatakan sebagai bersalah atau tidak (presumption
of innocence) azas praduga tak bersalah
2. Terdakwa, menurut pasal 1 ayat 5
KUHAP adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili
dipersidangan pengadilan.
3. Terpidana
adalah yang dijatuhi hukuman oleh Pengadilan pidana
Jenis Pidana yang dapat dijatuhkan kepada seorang Terpidana
menurut pasal 10 KUHAP, adalah:
1. Pidana pokok
2. Pidana mati
3. Pidana penjara
4. Pidana kurungan
5. Pidana denda
6. Pidana Tambahan
7. Pencabutan hak-hak tertentu
8. Perampasan barang-barang tertentu
9. Pengumuman keputusan
Hak
adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang tersangka, atau terdakwa.
Apabila hak tersebut dilanggar, maka hak asasi dari tersangka, atau terdakwa
telah dilanggar.
Hak
tersangka atau terdakwa:
1. Mendapat pemeriksaan
dengan segera (pasal 50:1)
2. Perkaranya segera
dilanjutkan ke Pengendilan (pasal 50:2)
3. Segera diadili oleh
Pengadilan (pasal 50:3)
4. Mempersiapkan pembelaan (pasal
51 huruf a)
5. Diberitahukan perihal apa
yang didakwakan kepadanya (pasal 51 huruf b)
6. Memberikan keterangan
secara bebas (pasal 52)
7. Mendapat bantuan
juru bahasa (pasal 52:1) bagi yang tidak mengerti bahasa Indonesia
8. Mendapat bantuan dalam
bisu/tuli (pasal 53:2)
9. Mendapat bantuan hukum
(pasal 54,55)
10. Untuk ditunjuk pembela dalam
hak terdakwa dengan ancaman hukuman mati (pasal 56)
11. Menghubungi Penasehat Hukum
(pasal 57:1)
12. Menerima kunjungan dokter
pribadi (pasal 58)
13. Diberitahukan kepada
keluarganya (pasal 59)
14. Menghubungi dan menerima
kunjungan keluarga (pasal 60,61)
15. Mengirim dan menerima surat
(pasal 62)
16. Menghubungi dan menerima
Rohaniawan (pasal 63)
17. Untuk diadili di sidang yang
terbuka untuk umum (pasal 64), kecuali kasus susila, dan kasus terdakwa
anak-anak yang masih di bawah umur
18. Mengusahakan dan mengajukan
saksi/saksi ahli atau saksi A De Charge (saksi yang menguntungkan) (pasal 65)
19. Tidak dibebani kewajiban
pembuktian (pasal 66)
20. Banding (pasal 67)
21. Mendapat ganti rugi dan
rehabilitasi (pasal 68)
22. Mendapat salinan dari semua surat/ berkas perkara (pasal 72)
Perkara
pidana dapat terjadi karena :
1. Tertangkap tangan artinya
tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau segera
sesudah beberapa saat tidak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian
diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya. Atau saat itu
ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana ( pasal 1:19)
2. Laporan/ pemberitahuan,
artinya suatu pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau
kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada pihak yang berwewenang tentang
telah atau sedang atau diduga akan terjadinnya peristiwa pidana.(pasal 1:21).
Pihak yang berhak mengajukan laporan (pasal 103) adalah setiap orang yang : (a)
mengetahui peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana (b) melihat suatu
peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana, (c.) menyaksikan suatu
peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana , (d) menjadi korban dari
peristiwa tindak pidana, (e) mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan
tindakan pidana terhadap : -ketentraman/keamanan umum, - jiwa atau hak milik,
dan (f) setiap pegawai negeri, dalam rangka melaksanakan tugasnya yang
mengetahui tentang terjadinya peristiwa pidana. Bentuk laporan: -lisan, -
tulisan; pelapor wajib diberikan tanda penerimaan laporan (pasal 108:6)
3. Pengaduan, artinya
pemberitahuan resmi disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada
pihak berwenang untuk menindak, menurut hukum seorang yang telah melakukan
tindak pidana aduan yang merugikan (pasal 1:25). Pihak yang berhak membuat
pengaduan (pasal 108) adalah setiap orang yang : (a) mengetahui peristiwa yang
diduga merupakan tindakan pidana (b) melihat suatu peristiwa yang diduga
merupakan tindakan pidana, (c.) menyaksikan suatu peristiwa yang diduga
merupakan tindakan pidana , (d) menjadi korban dari peristiwa tindak pidana,
(e) mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan tindakan pidana terhadap:
-ketentraman/keamanan umum, - jiwa atau hak milik, dan (f) setiap pegawai
negeri, dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya
peristiwa pidana. Bentuk pengaduan: -lisan, - tulisan (pasal 108:6). Tindak
pidana aduan dalam KUHP: pasal: 72, 73, 278, 284, 287, 310, 311, 315, 319, 321,
332, 320.
KEPUSTAKAAN
Djamali, Abdoel.1993.Pengantar Hukum Indonesia.Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persda
Sudarsono.1991.Pengantar Tata Hukum Indonesia,Jakarta:
PT.Rineka cipta.
www.google.com
terimakasih kembali ayo sama2 saling share ilmu dan pengetahuan.....
BalasHapus